Kamis, 09 Juli 2015

Bagaimana Batasan Berpakaian dan Bermesraan di Depan Anak?

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School 
Pembicara Parenting Internasional di 7 negara
dan Pembicara Nasional Parenting di 25 Propinsi, lebih dari 80 Kota di Indonesia

www.auladi.net

Bagaimana sih batasan bermesraan di depan anak? Bolehkah ciuman di depan anak? Bagaimana kalau dengan peluk-pelukkan di depan anak untuk menunjukkan kemesraan atau kasih sayang antar orangtua agar menjadi contoh untuk anak? Pernahkah Anda kepergok anak sedangkan bermesraan? Bagaimana pula jika mandi bersama anak?

Pertanyaan sejenis sering diajukan kepada saya oleh sebagian orangtua. Termasuk seorang ibu bernama Soffy berikut yang saya anggap cukup mewakili dari sekian banyak pertanyaan semacam ini:

“Saya seorang ibu, 28 tahun, dari seorang anak perempuan, Abah, punten saya mau menanyakan sesuatu tentang pandangan anak saya (perempuan usia 6,8 thn kelas 1) mengenai beberapa hal berikut ini:

1. Bagaimana pemotretan anak ketika ayah dan ibunya selalu menunjukkan kemesraan di depannya atau di depan keluarga besar? Suami saya adalah orang yang tak canggung memeluk, mencium, atau selalu ingin berpelukan dimanapun dan sayapun menjadi terbiasa dengan perlakuan suami. Saya sih memberitahu anak saya kalau misalnya ada adegan di tv yg mempertontonkan hal demikian, saya selalu arahkan kepada putri saya bahwa hal itu boleh dilakukan ketika kita sudah menikah. Bagaimana pendapat Abah? Mohon masukan untuk kami.

2. Apakah saya dan putri saya masih boleh mandi bersama? Karena kadang saya masi suka mandi bersama. Maaf ya, Abah, saya bertanya hal ini. 

3. Maaf juga saya bertanya ini, bagaimana pemotretan anak perempuan jika saya setelah mandi suka bertelanjang sebelum memakai baju atau ketika menggunakan lotion? Kamar mandi saya berada di dalam kamar.

Penjelasan yg saya sampaikan pada putri saya adalah bahwa ibu melakukan hal tersebut karena ibu hanya melakukan ini di kamar sendiri dan pintu tertutup dan terkunci sehingga tidak ada orang lain yang melihat, saya juga menyampaikan pada putri saya agar tidak melakukan hal tersebut jika tidak yakin kita berada ruangan yang 'aman untuk kita'."

Ya, selama ini sih putri saya juga tidak pernah berani keluar kamar sebelum berpakaian lengkap. Tetapi, saya khawatir perilaku saya mengakibatkan hal negatif di kemudian hari. Saya ingin penjelasan dari Abah secara jelas. Maaf sekali lagi jika Abah kurang berkenan. Haturnuhun."

Untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya tidak akan menjawabnya satu per satu, tapi akan menjawabnya menjadi lebih terperinci ke dalam beberapa poin prinsip-prinsip adab tentang pergaulan dalam Islam mengenai ini agar lebih mudah difahami secara komprehensif. Anda boleh mencari kesimpulan sendiri tentang hal ini. Jadi tidak sekadar boleh atau tidak boleh, tapi kerangka berpikir yang kita bangun tentang pemahaman pergaulan dalam Islam.

PRINSIP ISTI’DZAN

Syariat Islam sangat menekankan hal ini ISTI’DZAN atau MEMINTA IZIN ini. Bahkan sampai-sampai dicantumkan di dalam Al-Qur’an sendiri. Ini adalah pendahuluan dari adab sopan-santun anak pada orangtua dan orangtua di depan anak. Jadi yang terkena bukan hanya anak, melainkan juga orangtua.

Dua ayat dalam surat An-Nuur (58 dan 59) menegaskan prinsip Isti’dzan atau meminta izin. Dengan dua ayat tersebut kita mendapati bahwa Islam menunjukkan 2 TAHAP dalam penerapan prinsip pergaulan secara bertahap terutama dalam meminta idzin pada anak.
[7/9, 6:31 AM] ‪+62 857-2194-6975‬: TAHAP PERTAMA, Islam menoleransi anak yang belum balig, terutama yang mumayiz (pra-pubertas) memasuki kamar orang lain, termasuk kamar kedua orangtuanya, kecuali pada tiga waktu: SEBELUM SHOLAT SUBUH, MELEPAS LELAH SIANG HARI, DAN SETELAH SHALAT ISYA. Pada umumnya pada waktu-waktu ini orangtua membuka auratnya lebih longgar saat berada di ruang privat.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kalian miliki dan orang-orang belum balig di antara kalian meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum sholat subuh, ketika menanggalkan pakaian (luar) kalian pada tengah hari dan setelah shalat Isya. Tidak ada dosa dan tidak pula ada atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian memiliki keperluan terhadap sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nuur: 58).

Inilah yang dikhususkan pada TAHAP PERTAMA, yaitu MEMINTA IZIN pada tiga waktu. Tetapi jika pada waktu lain orangtua MELEPASKAN PAKAIANNYA, maka sudah jelas orangtua harus menutup rapat dan tidak terlihat oleh siapapun, termasuk anaknya.

TAHAP KEDUA, yaitu tahap setelah anak berusia baligh atau pada usia TAKLIF. Dalam hal ini ISTI’DZAN mencakup SELURUH WAKTU berdasarkarn firman Allah swt:

“Dan apabila anak-anak kalian telah mencapai usia baligh maka hendaklah mereka meminta izin sebagamana orang-orang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nuur: 59)

2. Prinsip MEMISAHKAN TEMPAT TIDUR

Turunan dari PRINSIP ISTI’DZAN selanjutnya adalah bahwa ANAK-ANAK WAJIB TERPISAH TEMPAT TIDURNYA atau tepatnya TERPISAH KAMAR dari orangtuanya. Bagaimana mungkin minta izin masuk kamar orangtua jika orangtua sendiri BERSATU kamarnya dengan anak?

Yang jarang difahami adalah bahwa ini juga sebenarnya berlaku saat orangtua masuk ke kamar anaknya yang sudah TAKLIF alias sudah baligh. Suka kah Anda saat anda jadi anak lalu Anda dilihat orangtua Anda yang dalam keadan telanjang? Tentu tidak bukan?  Sangat-sangat tidak nyaman. Karena itu hendaknya juga orangtua membiasakan MEMINTA IZIN atau setidak-tidaknya MENGETUK PINTU kamar Anak dahulu untuk memastikan bahwa anak-anak sudah bersiap dengan pakaiannya.

Inilah bentuk orangtua yang tidak hanya NGATUR-NGATUR anak, tapi juga MEMULIAKAN ANAK ITU SENDIRI. Termasuk memisahkan kamar ini adalah MEMISAHKAN KAMAR ANAK LAKI-LAKI DENGAN KAMAR ANAK PEREMPUAN.

Melalui pemisahan tempat tidur ini, anak-anak jauh dari kamar orangtuanya dan sehingga terhindar dari tempat yang dilakukan aktivitas seksual. Selain itu, pemisahakan kamar anak laki-laki dengan anak perempuan, di mana masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.

Metode pemisahan tempat tidur ini juga merupakan metode pendidikan dimana anggota keluarga merasakan apa yang menjadi miliknya dan tanpa bisa menggunakan tanpa izinnya. Seharusnya setiap anak memiliki kamar tersendiri dengan berbagai perlengkapannya. Turunan dari ini adalah orangtua sebaiknya tidak ikut campur dalam cara pengaturannya, merapikan peralatannya dan menggunakan barang-barangnya, untuk anak-anak yang sudah TAMYIZ, APALAGI ANAK TAKLIF. (Baca tulisan saya yang lain: mengajarkan konsep kepemilikan).

Tentu saja kita bisa ikut membimbingnya. Tapi saya sudah bilang bahwa MEMBIMBING berbeda dengan MEMERINTAH. Saat membimbing kita mengajak anak berpikir (fandzur), bukan menyuruh anak. Anak diajak DIALOG, bukan MONOLOG. Sehingga anak-anak dilatih untuk menumbuhkan rasa kemandiriannya dan diakui ‘eksistensinya’. Dalam salah satu sesi pelatihan orangtua yagn abah selenggarakan yaitu KARUNIA CINTA REMAJA (KCR) yang ditujukan untuk orangtua yang memiliki anak remaja, saya sering berkata tentang bahwa anak remaja ini menginginkan dua hal dalam hidupnya: IDENTITAS DIRI (INDEPENDENSITAS) DAN KEMANDIRIAN. Dengan memisahkan tempat tidur, secara langsung ingin mengakui hak-hak anak remaja ini, antara lain dalam hal privasi dalam kamarnya sendiri.
[7/9, 6:32 AM] ‪+62 857-2194-6975‬: 3. PRINSIP BATASAN AURAT

Anak-anak yang sudah mencapai usia balig dan mukallaf atau taklif (terkena benan syariat/sudah menanggung pahala dan dosa sendiri) wajib menutup aurat dari padangan anak yang MUMAYIZ, sebagaimana anak yang sudah baligh juga diharamkan untuk memandang aurat anak yang mumayyiz, apalagi menyentuhnya dengan dorongan syahwat. Apatahal lagi ORANGTUA. Orangtua dengan demikian wajib menjaga auratnya dari anaknya sendiri yang sudah MUMAYIZ DAN MUKALLAF.

Hal ini karena anak yang mumyyiz dapat mengingat dengan baik apa yang dilihatnya. Fukaha pun menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan wajib menutup aurat mereka dari padangan orang yang sudah baligh dan dari anak yang mumayiz, yang belum baligh, yakni anak atau remaja yang berada pada suatu tingkatan kecerdasan dan kesadaran tertentu. Ia terpengaruh oleh berbagai hal dan dapat memikirkannya tanpa batasan usia. (Al-Jins fi At Tashawwur al IslamI).

Namun orang yang berusia baligh, boleh memandang dan menyentuh setiap bagian dari tubuh orang yang belum baligh wakapun ia seorang yang mumayyiz, SAAT ADA KEPERLUAN dan asalkan TANPA DORONGAN SYAHWAT, baik terhadap dari jenis kelamin yang sama maupun yang berbeda. Namun, ditoleransi anak yang mumayyiz itu memandang rambut, lengan, betis dan lutut muhrimnya bila tanpa dorongan syahwat. Namun diharamkan memandang bagian tubuh laki-laki yang sudah baligh antar pusar dan lutut (baina syurah warruqbah) baik tanpa dorongan syahwat apalagi dengan dorongan syahwat dan antara lutut dan sampai dada (leher).

Oleh karena itu, sangat jelas, baik orangtua laki-laki maupun orangtua perempuan, juga wajib menjaga auratnya di depan anaknya. Seorang ayah tidak boleh telanjang bulat di depan anaknya dan seorang ibu tidak boleh telanjang bulat di depan anaknya, baik anaknya sesama jenis maupun beda jenis agar tidak menjadi daya tarik bagi anak-anak mumayyiz ini untuk memandang sesuatu yang membahayakan masa depan pendidikan seksnya. Demikian juga sesama anak (yang masih mahram): tidak boleh anak-anak ini menampakkan auratnya baik ke anak laki maupun ke anak perempuan dengan batasan tadi: anak perempuan dari lutut sampai dada sedangkan anak laki-laki antara lutut dan pusar.

Karena itu saya ingin mengingatkan, terutama sebagian ibu yang kadang keluar kamar mandi dengan bertelanjang (meski sambil berlari), atau hanya mengenakan handuk yang menutup pangkal pahal hingga dada, atau saat mencuci menyingsingkan bajunya ke bagian atas hingga ke pangkal paha, padahal di sekitarnya ada anak-anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa. Mungin tidak berpengaruh buat Anda tapi belum tentu buat pikiran anak Anda. Karena itu, mari kita hindari hal ini. Ini akan menimbulkan syahwat pada anak-anak kita, merusakkan pikirannya, dan kemudian akan tersimpan dan berimajinasi di dalam pikirannya.

Masalah lain adalah pada masalah pakaian, ajaran Islam dalam masalah pakaian yang aman dan sehat tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa untuk mencegah timbulnya angan dan membangktikan syahwat pada orang lain, melainkan hal yang sama menuntut agar anak dilatih untuk mengenakan pakaian yang longgar agar di masa mendatang ia terbiasa dengannya dan untuk melindunginya dari rangsangan-rangsangan  seksual khususnya pada saat nanti ia berusia baligh. Pakaian yang sempit yang menekan tubuhnya secara terus-menerus, akan menyebabkan rangsanan syahwat selama masa kematangan seksualnya, seperti kesukaan pada kebiasaan buruk atau onani/ masturbasi. Tentu saja yang dimaksud pakaian longgar itu tidak selalu didefinsiikan sebagai GAMIS, tetapi yang dimaksud adalah yang benar-benar tidak ketat atau yang tidak menekan tubuh anak. Gamis tapi ketat, artinya juga tidak masuk dalam kategori ini.

4. PRINSIP MENJAUHKAN ANAK DARI AKTIVITAS SOSIAL DAN EROTIS

Adalah penting untuk menjauhkan, anak dari melihat aktivitas seksual diantara suami istri (apalagi bukan suami istri, seperti di film, video, dll) karena bahayanya sangat besar untuk masa depan anak. Karena itu aktivitas seksual di antara orangtua hendaklah dilakukan di dalam tempat yang rahasia dan tersembunyi. Mungkin Anda tidak harus selalu di kamar saat melakukannya, tapi pastikan WAJIB tak terlihat, tersembunyi, dan yang tak mungkin anak bisa mengaksesnya.

Hendaklah kita memperhatikan keadaan perkembangan pikiran anak dan ini sudah jelas sangat mempengaruhi pikirannya. Dari segi ini ada dua hal: ada sebagian ulama yang kemudian mengatakan dimakruhkan anak yang belum mumayyiz melihat kedua orangtuanya dalam hubungan seksual di antara mereka. Kedua, diharamkan anak mumayiz melihat aktivitas ini. Hal ini dikarenakan yang pertama belum memahami dengan baik apa yang dilihatnya, sedangkan yang kedua sudah mampu memahami apa yang dilihatnya.

Nabi Saw bersabda: “Demi Allah yang diriku dalam keadaan kekuasaan-NYA, jika seorang suami menggauli istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, serta mendengar ucapan dan hembusan nafas mereka, maka ia tidak akan mendapatkan keuntungan, baik anak itu laki-laki atau perempuan.” (Ath-Thifl Bayna al-wiratsah wa at tarbiyah).

Istid’dzan seperti yang pernah disebutkan saya sebelumnya adalah upaya Islam dalam mencegah anak dari peamandangan apapun yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya serta wahana agar anggota-anggota keluarga dapat mejaga kemuliaannya.

Prinsip istidzan juga dapat menghindarkan anak-anak dari melihat tindakan dan aktivitas seksual orangtuanya termasuk tindakan-tindakan erotis orangtuanya. Tindakan erotis dapat menjadi faktor kuat bagi munculnya penyimpangan seksual bagi anak remaja.

Ciuman antara suami istri di hadapan anak mumyyiz adalah dilarang. Harus dibedakan antara ciuman untuk menunjukkan sayang dengan ciuman karena birahi. In sya Allah dengan pengalaman masing-masing, kita sebenarnya sangat mudah membedakannya. Mana ciuman yang untuk menunjukkan sayang dan mana ciuman yang membangkitkan syahwat. Mencium pasangan pada kening tentu akan sangat berbeda dampaknya untuk kita dibandingkan menciuam pasangan di bagian bibir misalnya. Karena itu hendaknya harus berhati-hati dengan hal ini.

Soal mencium ini pula yang harus diperhatikan. Islam telah melarang ciuman permpuan dewasa kepada anak laki-laki yang berusia 7 tahun dan laki-laki dwasa tidak boleh mencium anak perempuan yang telah berusia 6 tahun tanpa ada hubungan kekeluargaan di antara keduanya.
Rasulullah saw bersabda: “Jika anak perempuan telah berusia 6 tahun, anak laki-laki tidak boleh menciumnya. Perempuan dewasa tidak boleh mencium anak laki-laki apabila anak itu telah berusia tujuh tahun.” (Makarim Al-Akhlaq dan Ath-Thifl Bayna Al-Wiratsah wa At-tarbiyah).

Demikian juga memeluk. Memeluk sebagai tanda sayang dan sekadar mesra sangat berbeda dengan memeluk karena birahi dan dapat membangkitkan syahwat. Jadi, boleh memeluk pasangan di depan anak untuk sekadar sayang, tapi jika sudah membangkitkan syahwat, tidak boleh memeluk di depan anak.

Saya juga ingin mengatakan mungkin terdapat perbedaan antara pendidikan seks dalam pandangan kita sebagai orang Islam dengan pendidikan seks ala barat.

Sex education mulai menjadi perdebatan seru dibarat pada sekitar tahun 1990. Ada yang tidak setuju, ada yang setuju. Dan yang setuju dan dengan bangga mengaku-ngaku masyarakat yang modern. Padahal dalam Islam, sex education bukanlah hal yang baru, Rasulullah SAW telah mengajarkannya dan mencontohkannya kepada kita. Namun tujuan dan caranya berbeda dengan pemikiran barat.

Apakah tujuan sex education itu menurut pandangan barat: Menekankan pentingnya kesetiaan terhadap pasangan. Menghindari kehamilan di usia remaja (maksudnya sex itu boleh aja, tapi jangan sampai hamil atau yang biasa disebutkan KTD: KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN). Agar anak terhindar dari pelecehan seksual. Mampu menghindari hubungan sex jika tidak diinginkan atau sex yang tidak aman.

Jadi kalau tidak ingin berhubungan sex dengan orang itu, jangan segan-segan menolak. Tapi kalau suka sama suka nggak apa-apa, tapi jangan lupa, sex yang aman. ( Yang aman =  jangan sampai hamil, jangan sampai AIDS ). Keuntungan menunda hubungan sex. Maksudnya pas mereka udah siap dan benar-benar menyukai orang itu. Pentingnya sex yang aman: jangan sampai hamil, jangan sampai kena AIDS. Maka, saya pernah lho masuk ke suatu komplek perusahaan internasional, di toilet, di tempat-tempat umum terpampang banyak kampanye berbentuk stiker: MAU AMAN? PAKAILAH KONDOM SEBELUM BERHUBUNGAN SEX. Bahasa pleseetannya: berzinalah dengan kondom. Lah, kalau orang sudah menikah, kenapa tidak disebut aman?

Itulah mengapa sampai sekarang barat tidak pernah mencapai tujuan walau hanya salah satu diantara tujuan tersebut. Bukan hanya tidak mampu mencapai salah satu tujuan tersebut, bahkan lebih parah. Kondisi yang semula ‘hanya’ dalam batas sex bebas, atau hamil di luar nikah, kini makin buruk dengan pelecehan seksual pada anak anak dibawah umur, entah pada anak lelaki atau perempuan, pernikahan homo seksual sudah menjalar kemana-mana dan menjadi trend. Dan pendidikan seks itu ala Barat itu ternyata dikampanyekan juga sampai pelosok Indonesia.

Sedangkan tujuan pendidikan seks dalam Islam adalah untuk menjaga keselamtan dan kehormatan serta kesucian anak-anak kita di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, baik anak laki-laki maupun perempuan akan terjaga akhlak dan agamanya sampai masing-masing memasuki jenjang keluarga dengan bersih dan selamat.

Pola pendidikan seksual dalam islam yang praktis di berikan oleh orang tua kepada anaknya tidaklah melalui metode pembahasan lisan yang menghilangkan rasa malu manusia. Metode pendidikan kenabian yang sejalan dengan fitrah manusia yang malu membicarakan hal-hal yang seronok, karena bedampak menggusur secara bertahap kepekaan terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur.

Ini berbeda dengan metode barat yang penuh dengan muatan seronok dalam pendidikan seksual. Karena rangsangan seksual itu tidak  memerlukan pembicaraan, namun timbul karena terlihatnya bagian-bagian yang merangsang dari lawan jenisnya. Karena itulah Islam melakukan pencegahan sedini mungkin agar rangsangan yang bersifat naluriah itu tidak mengakibatkan bahaya bagi anak-anak. (Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari | www.auladi.org)

 
Referensi: Makarim Al-Akhlaq, Ath-Thifl Bayna Al-Wiratsah wa At-tarbiyah, 50 pedoman mendidik anak menjadi shalih ‘ karya Drs.M. Thalib, Pendidikan Seks untuk Anak dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar